Mana
yang akan kita
pilih,
menjadi pengagum
dan
bangga dengan
orang-orang
yang
berpengaruh
karena
ilmunya,
atau menjadi
orang
berilmu itu
sendiri?
Satu lagi bukti tentang janji-janji
Allah saya temukan. Suatu ketika, saya melakukan perjalanan ke beberapa kota di
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Jawa Tengah, saya singgah di Solo dan
silaturahim ke Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki. Pesantren yang dipimpim oleh
Ustadz Abu Bakar Ba’asyir.
Hampir seharian saya bercengkerama
dengan warga Al Mukmin. Topik obrolan kami mulai dari pertanyaan kabar sampai
gagasan-gagasan penerapan syariat Islam. Setelah hari menjelang sore, saya
mohon diri untuk kembali ke pusat kota, Solo. Untuk kembali, saya haru berjalan
kaki ke jalan besar atau menyewa becak sampai ke tujuan. Karena sudah cukup
lelah, opsi kedua jadi pilihan. Di ujung gang Ngruki, hanya ada satu becak. Dan
peneriknya, sudah sangat sepuh, mungkin lebih sepuh dari Ustadz Abu Bakar Ba’asyir.
Saya langsung menyepakati harga yang
ia ajukan, dan pedal becak mulai dikayuh ke tujuan. Sepanjang jalan, kami
bercengkerama. Namanya, sebut saja Pak Karto, umur lebih dari 60 tahun. Asli
Ngruki dan mengaku kenal dengan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Tiba-tiba perasaan
saya diselimuti rasa pedih.
Pedih merasakan Pak Karto yang
hingga usia sepuhnya, belum juga
punya kesempatan pensiun. Dua sosok membayang di depan mata. Satu Abu Bakar
Ba’asyir, satu lagi Pak Karto. Sama-sama dari Ngruki, sama-sama seusia, tapi begiru
berbeda perjalanan hidupnya. Yang satu, mungkin tak pernah beranjak jauh dari
Surakarta. Sedang yang satu lagi, begirtu mendunia. Abu Bakar Ba’asyir, siapa
yang tak mengenal namanya.
Kisah yang nyaris sama saya jumpai
lagi ketika sowan ke Pesantren
Gontor, Pnorogo. Dalam beberapa perjalanan, saya menumpang ojek, Pak Slamet
nama pengendaranya. Ia dengan bangga menceritakan bahwa dirinya teman satu
Sekolah Dasar dengan Mas Hamid Fahmy Zarkasih, salah seorang keluarga besar
pengurus Pesantren Gontor yang menuntut ilmu di Malaysia. Sebelumnya, saya
telah kenal dengan Mas Hamid, dan saya diberi kesempatan Allah untuk kenal
dengan Pak Slamet.
Mereka berdua tumbuh bersama, tutur
Pak Slamet. Tapi kini saya melihat keduanya menempuh perjalanan yang sangat
jauh berbeda. Mas Hamid menjadi salah seorang motor penggerak dan pemikir
Muslim yang sedang menggalang perlawanan terhadap ide-ide sekuler di dunia.
Sdangkan Pak Slamet, waktu di sana, sampai larut malam masih saya temui berjaga
dengan sepeda motornya.
Bukan bermaksud mengadili hidup Pak
Slamet atau Pak Karto, tapi saya memetik hikmah dari pertemuan dengan keduanya.
Dan hikmah itu adalah, ilmu benar-benar membuat derajat manusia lebih tinggi
dari seblumnya. Ilmu adalah kunci yang membuka gerbang kehidupan yang lebih
luas dan lebih dalam. Ilmu adalah sebuah penentu, seberapa besar manfaat yang
akan kita berikan dalam kehidupan ini.
Sekarang pertanyaannya adalah, mana
yang akan kita pilih menjadi pengagum dan bangga dengan orang-orang yang berpengaruh
karena ilmunya, atau menjadi orang berilmu itu sendiri? Mudah-mudahan kita tak
salah memilih. Sebab, banyak jebakan dan jalan terjal untuk menjadi orang
berilmu.***
0 komentar