Empat orang tokoh Puri Kesiman Denpasar dipimpin Anak Agung Ngurah Gde Kusuma Wardhana mengadakan pertemuan dengan Chusmeru di kampus D4 Pariwisata Jalan Dr. Goris 7 Denpasar. Pertemuan itu membicarakan pernyataan Chusmeru yang merasa dijebak dalam pertemuannya dengan Hartono di Puri Kesiman, beberapa waktu lalu. Kusuma Wardhana memaparkan banyak pihak yang mempermasalahkan dan tersinggung dengan pernyataan itu karena dapat dipandang mencemarkan nama puri. Sementara itu, Chusmeru tidak sependapat dengan pernyataan itu karena dia tak menduga Hartono akan hadir dalam pertemuan yang akan membahas perkembangan isu Jembatan Jawa Bali (JJB). Menurut Chusmeru, kehadiran Hartono di Puri Kesiman membuat dirinya kaget, dan tak bisa mengelak, sehingga hanyut dalam pembicaraan tentang dia dan Planet Bali, kepunyaannya. Jika hal itu memang itu membuat pihak Puri Kesiman tersinggung, Chusmeru meminta maaf.
Kusuma Wardhana mengaku merasa plong dan menerima permintaan maaf Chusmeru. Dia menegaskan bahwa tidak pernah merekayasa pertemuan antara Hartono bersama Chusmeru dan kawan-kawan. Sementara itu, Ketua Umum Forum Pemerhati Hindu Dharma Indonesia (FOHDI) I Dewa Gede Ngurah Swastha, mendukung pernyataan pengamat budaya Profesor I Gusti Ngurah Bagus agar Pemerintah Daerah Badung mencabut izin Planet Bali. Jika Hartono keberatan, bisa mem-PTUN-kan Pemda Badung. Akan tetapi dengan berbagai bukti penyelewengan di Planet Bali dan promosi “ayam” Hartono lewat internet, I Gusti Ngurah Bagus yakin Pemda Badung akan mampu mempertahankan keputusannya. Dukungan lainnya datang dari LPPH Pemuda Pancasila Bali. Melalui ketuanya Drs. Made Buktiyasa, LPPH Bali dikatakannya siap membeking Bupati Badung menghadapi tuntutan Hartono. Itu dilakukan karena LPPH Pemuda Pancasila Bali ingin memberantas perbuatan yang melecehkan agama Hindu dan budaya Bali.
Tulisan tersebut di atas adalah salah satu dari puluhan berita tahun mengenai Puri Kesiman dan Anak Agung Ngurah Gde Kusuma Wardhana sebelum dan sesudah masa Reformasi. Saat itu Kusuma Wardhana adalah ketua FIP2B, yang getol mengawasi penyimpangan-penyimpangan konsep pembangunan di Bali. Jadi, tahun 1990-an sampai dengan awal 2000-an, Puri Kesiman adalah markas perjuangan kaum reformis. Jika, ditelusuri lebih jauh, ternyata bukan hanya pada periode itu, melainkan jauh sebelumnya Puri Kesiman sudah pernah tampil sebagai markas perjuangan. Saat itu, tahun 1945-1949, yang disebut sebagai periode Revolusi Fisik, Puri Kesiman tampil sebagai salah satu markas perjuangan pemuda revolusioner. I Gusti Ngurah Kusuma Yudha, yang merupakan ayah kandung Kusuma Wardhana, yang merupakan bagian dari pimpinan pejuang kemerdekaan Bali. Ia membiarkan istana warisan leluhurnya sebagai markas perjuangan, karena kuatnya semangat nasionalisme pada dirinya.
Suatu saat para pemuda revolusioner yang sedang berkumpul di Puri Kesiman tidak menyadari dirinya sudah dikepung oleh pasukan Jepang. Biarpun sudah terkepung, namun mereka berhasil meloloskan diri. Begitu para gerilyawan yang sebelumnya sudah terjepit di Puri Kesiman, Puri Satria, dan beberapa tempat lainnya di Denpasar bisa meloloskan diri, mereka langsung menuju ke Peguyangan atau desa-desa lain yang diperkirakan lebih aman. Di tempat persembunyiannya, para gerilyawan akhirnya sadar, bahwa mereka bertindak terlalu gegabah, melaksanakan suatu kegiatan besar tanpa konsep yang jelas dan dasar-dasar perjuangan yang teratur dan rapi. Oleh karena itulah pimpinan TKR di bawah I Gusti Ngurah Rai mulai memikirkan landasan, strategi, dan siasat perjuangan. Sejak itu para gerilyawan mulai masuk ke desa-desa dan dusun yang jauh dari kota, agar bisa bertemu dengan rakyat, tidak saja untuk mensosialisasikan arti kemerdekaan, tetapi juga mencari dukungan untuk membangun gerakan massa yang lebih kuat dari sebelumnya.
Lebih jauh dari itu, para pimpinan TKR juga mengambil kesepakatan untuk mencari bantuan senjata ke Jawa. Pada hari Rabu, tanggal 19 Desember 1945 rombongan ekspedisi yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai berangkat ke Jawa. Sementara itu, para pemimpin yang berada di Bali, selain berusaha merebut hati rakyat, mereka juga membenahi struktur organisasi, kemudian melahirkan suatu konsep baru berupa induk perjuangan yang mengkoordinir para gerilyawan dalam menghadapi musuh. Induk perjuangan ini disebut Markas Besar(MB), yang membawahi beberapa cabang yang ada pada satu atau dua distrik, disebut staf. Cabang membawahi ranting yang tersebar di desa-desa. Cara kerjanya, cabang, memperoleh informasi dan pengarahan dari MB yang kemudian diteruskan ke ranting, yang selanjutnya meneruskan ke anak buah masing-masing. Akhir Juli 1946 Induk Pasukan bergerak ke selatan, melintasi leher Gunung Batukaru(Tabanan), lewat Bukit Keladin, menuju suatu tempat di Tabanan. Di sini, di Sarinbuana induk pasukan dipecah: sebagian ke staf Kesiman markas Badung.
Dengan demikian, sudah dua periode dalam sejarah Bali abad XX, Puri Kesiman berfungsi sebagai markas perjuangan. Sebagai satu-satunya istana Raja Badung yang tersisa sampai sekarang ini, tentu sangat menarik untuk mengkaji bagaimana Puri Kesiman bisa bertahan cukup lama dan apa kiprahnya di masa kini, awal abad XXI, terutama dalam kaitannya dengan kedudukan dan peran puri dalam masyarakat Bali, khususnya Desa Kesiman yang semakin majemuk. Karena itu, dalam studi ini akan dibahas sejumlah pertanyaan penelitian, yakni (i) bagaimana sejarah berdirinya Puri Kesiman; (ii) Apa peran Puri Kesiman dalam sejarah Bali pada umumnya dan sejarah Badung khususnya; dan (iii) Bagaimana kedudukan Puri Kesiman pada awal zaman kemerdekaan sampai sekarang ini.
Pertanyaan penelitian itu tampak sangat sederhana, namun jika mampu menjawabnya secara maksimal, maka setidaknya akan memberikan gambaran yang relatif utuh mengenai sejarah Puri Kesiman. Tulisan ini memang dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan penelitian itu, namun kualitas jawabannya belum maksimal hanya bertumpu pada sumber sejarah sekunder, bahkan tersier. Artinya, jawaban yang dikemukakan dalam tulisan ini masih sangat umum, karena memang merupakan pengetahuan umum mengenai sejarah Puri Kesiman. Karena itu diperlukan sejumlah sumber primer baik yang tradisional maupun modern, terutama dokumen-dokumen rahasia pemerintah kolonial Belanda. Jadi, tepatnya tulisan ini dapat disebut sebagai sebuah proposal terbuka yang ditujukan kepada siapapun yang merasa memiliki sumber-sumber primer yang dimaksud.
Sejarah Lahirnya Puri Kesiman
Kehadiran Puri Kesiman, menurut Gora Sirikan diawali dengan sikap politik I Gusti Ngurah Made. Ia adalah salah seorang cucu I Gusti Gde Oka alias I Gusti Ngurah, seorang Manca Puri Kaleran Kawan, yang merupakan pejabat tinggi di bawah punggawa dalam kerajaan Badung. Diceritakan oleh Sirikan, I Gusti Gde Made tidak puas dengan jabatannya sebagai seorang manca. Ia ingin memperoleh kekuasaan yang lebih tinggi, karena menganggap dirinya pantas memperolehnya, mengingat kebesaran kerajaan Badung terjadi berkat cicitnya, putri raja Mengwi yang dibekali sejumlah desa saat menikah dengan Raja Pemecutan. Ia pun melirik kekuasaan I Gusti Ngurah Jambe di Puri Kesatria.[1]
Jangan pernah membayangkan istana Jambe Merik itu di Puri Kesatria adalah Puri Satria yang terwariskan sampai sekarang itu. Puri Satria yang dihuni oleh keluarga Anak Agung Ngurah Puspayoga, yang sekarang menjabat sebagai Wakil Gubernur Bali, dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1929 di atas areal pura peninggalan I Gusti Jambe Merik. Puri Satria dimaksudkan sebagai tempat tinggal regent (wali pemerintahan) yang tiada lain adalah datuk Anak Agung Ngurah Puspayoga, salah satu keturunan raja Badung yang dapat menyelamatkan diri dalam perang 1906, kemudian ditawan Belanda di Lombok. Sementara Puri Kesatria yang dikisahkan dalam tulisan ini berasal dari Puri Peken Badung yang didirikan oleh I Gusti Jambe Merik. Setelah I Gusti Jambe Merik mangkat, ia digantikan oleh putranya, I Gusti Jambe Tangkeban. I Gusti Jambe Tangkeban digantikan lagi I Gusti Jambe Ketewel. Pada masa Jambe Ketewel, kekuasaan Puri Peken Badung meluas, yang disebabkan karena Raja Sukawati menghadiahinya daerah Batubulan. Hadiah itu diberikan sebagai balas budi atas jasanya mendamaikan pertengkaran antara Tjokorda Made dan Tjokorda Anom di Kerajaan Klungkung, yang kemudian menjadi penyebab dari lahirnya Kerajaan Sukawati.[2]
Sayangnya, I Gusti Ngurah Jambe Ketewel tidak memiliki keturunan. Sebagai jalan keluarnya, ia pun menghaturkan seorang istrinya kepada Raja Sukawati Dewa Agung Anom. Setelah istrinya hamil, lalu dipulangkan ke Puri Peken Badung. Istrinya itu, melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian diangkat sebagai putra mahkota dan selanjutnya menjadi Raja Peken Badung dengan gelar I Gusti Jambe Aeng. Raja inilah yang mendirikan Puri Kesatria yang saat itu dijuluki Puri Kesatrya Jambe Merik sekaligus menjadi rajanya dengan gelar I Gusti Ngurah Jambe Merik. [3] Konon, I Gusti Agung Jambe Merik memiliki dua orang anak, yakni Ida Sakti Jambe dan Ida Sakti Made. Ida Sakti Jambe menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Raja Ksatria, sedangkan adiknya membangun istana baru yang diberi nama Puri Agung Jero Kuta Turunan Dalem Sukawati. Menurut Gora Sirikan, sejak munculnya Puri Ksatria, kekuasaan Puri Pemecutan mulai surut, namun bukan berarti musnah, sebab rakyat Badung masih menghormatinya sebagai titik awal berdirinya kerajaan Badung. [4] Istana yang dibangun oleh I Gusti Jambe Aeng alias I Gusti Jambe Merik itu yang sedang diincar oleh I Gusti Ngurah Made, cucu pendiri Puri Kaleran Kawan.[5]
Versi lain menyebutkan, I Gusti Ngurah Made bukan cucu pendiri Puri Kaleran Kawan, melainkan anaknya. Ia juga bukan orang yang ingin mengincar kekuasaan Raja Puri Ksatria, melainkan adiknya yang bernama I Gusti Ngurah Rai, yang juga disebut Kiyai Agung Rai. Semula hubungan antara Puri Kaleran dengan Puri Ksatria berjalan dengan baik, namun menjadi renggang setelah istri kesayangan Raja Kesatria berselingkuh dengan I Gusti Ngurah Rai. Karena saking cintanya, istri raja itu menyerahkan cincin pemberian suaminya kepada kekasih gelapnya, I Gusti Ngurah Rai. Cinta terlarang ini akhirnya bocor ke telinga Raja Ksatria, maka terjadilah permusuhan antara Puri Kesatria dengan Puri Kaleran. I Gusti Ngurah Rai menjadi target pembunuhan. Ia pun bersembunyi di Celagigendong, kemdian lari ke Kuta, Petitenget, Legian, sampai akhirnya mencari suaka politik ke Raja Lombok. Namun Raja Lombok, tidak berani menerimanya, dan hanya diberikan izin tinggal. Akhirnya, I Gusti Ngurah Rai kembali ke Bali, berlindung pada Raja Gianyar (Dewa Agung Manggis).[6]
Sebagai orang yang pandai berjudi sabungan, I Gusti Ngurah Rai ditantantang oleh Raja Gianyar untuk adu jangkrik. Raja Gianyar kebetulan memiliki seekor jangkrik siluman. Mengetahui hal itu, ia pun meminta pertolongan kepada saudara iparnya di Griya Jero Gde Sanur. Oleh saudara iparnya itu, I Gusti Ngurah Rai diminta bersemadi di Pura Dalem Kedewatan, sehingga mendapat anugrah seekor jangkrik, yang kemudian dapat mengalahkan jangkrik Raja Gianyar. [7] Dengan demikian, terjalin hubungan yang harmonis antara Gianyar dan I Gusti Ngurah Rai, yang dilanjutkan dengan kesedian raja Gianyar membantu I Gusti Ngurah Rai menghancurkan kekuasaan Puri Kesatria.
Menurut Gora Sirikan, rencana pernyebuan ke Puri Ksatrya memang mendapat dukungan dari Raja Gianyar. Setelah ada bantuan dari Raja Gianyar, semakin kuat I Gusti Ngurah Rai menyerang Puri Ksatria. Puri Ksatria pun mulai dikepung.[8] I Gusti Ngurah Rai juga dibantu oleh saudara iparnya dari Griya Jero Gde Sanur, sehingga pasukan Kesatria yang dipimpin oleh pemangku Pura Dalem Kesiman dapat dihancurkan. Pasukan Ngurah Rai bergerak sampai ke Kreneng. Setelah itu, ia mengirimkan ultimatum, apakah Raja Kesatria memlih menyerah atau gugur dalam pertempuran. Ternyata Raja Puri Kesatria memilih berperang. Ternyata I Gusti Ngurah Rai menggunakan siasat adu domba dengan adiknya di Puri Jero Kuta. Penguasa Puri Jero Kuta diintimidasi dan dijanjikan kedudukan yang lebih tinggi oleh I gusti Ngurah Rai. Selanjutnya, dibuatkan rencana agar Raja Ksatria keluar dari istananya menuju Puri Jero Kuta tanpa pengawalan ketat, namun secara diam-diam ia sudah ditunggu oleh laskar I Gusti Ngurah Rai. Raja Puri Ksatria akhirnya dapat dibunuh oleh I Gusti Ngurah Rai di Puri Jero Kuta. Kakak I Gusti Ngurah Rai yang bernama I Gusti Ngurah Made yang juga disebut Kyai Anglurah Made Pemecutan tampil sebagai Raja Ksatria menggantikan Ida Sakti Jambe. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1778.[9]
Sejak itu berdiri kerajaaan Denpasar. Menurut Gora Sirikan, dengan hancurnya Puri Ksatria derajat I Gusti Ngurah Made pun terangkat. Ia mendapat pengakuan sebagai Raja Badung oleh seluruh rakyat. Sesudah dinobatkan menjadi Raja Badung, I Gusti Ngurah Made menggunakan gelar I Gusti Ngurah Made Pemecutan. Biarpun muncul kerajaan baru, namun karena keberadaannya hanya menggantikan Puri Ksatria, maka sifat dan bentuk kerajaan Badung tetap seperti sedia kala. Dilihat dari dalam, kedua kerajaan ini menampakkan diri sebagai kerajaan kembar yang berpusat di Puri Denpasar, namun dari luar keduanya nampak sebagai satu kesatuan. Kedua dapat bekerjasama dan saling menghormati kedaulatan masing-masing.[10]
Pada tahun 1813 pendiri Raja Denpasar I Gusti Ngurah Made Pemecutan mangkat. Setelah kepergiannya terjadi perubahan konstalasi politik di kerajaan Badung yang diawali dengan keputusan putra sulung I Gusti Gde Kesiman pergi meninggalkan istana dan membangun istana baru di Kesiman (di Puri Agung Kesiman sekarang) dan sekaligus menjadi rajanya dengan gelar I Gusti Gde Ngurah Kesiman. Sementara posisi Raja Denpasar II diserahkan kepada adiknya, I Gusti Gde yang setelah dinobatkan menjadi raja bergelar I Gusti Gde Ngurah. Dengan demikian sejak tahun 1813, kerajaan Badung tidak lagi berbentuk dwitunggal, melainkan tritunggal.Pada tahun 1817, setelah berkuasa selama empat tahun, I Gusti Gde Ngurah mangkat dan kedudukan Raja Denpasar III dipegang oleh putranya yang bernama I Gusti Made Ngurah.[11]
Sejak raja Denpasar II mangkat, kebesaran atau kewibawaan Raja Kesiman I Gusti Gde Ngurah Kesiman di Kerajaan Badung semakin meningkat, seolah-olah Raja Pemecutan I Gusti Ngurah Pemecutan tunduk kepadanya. Oleh karena itu, menurut Gora Sirikan, pimpinan tertinggi kerajaan Badung berada di tangan I Gusti Gde Kesiman. Keistimewaan Raja Kesiman dibandingkan dengan Raja Denpasar dan Pemecutan bukan hanya terletak pada kemahirannya atau kebijaksanaannya dalam memegang tampuk pemerintahan tetapi juga kemampuannya dalam bercakap-cakap dalam bahasa Melayu. Dengan kelebihan itu, maka orang-orang asing yang berkunjung ke Badung, memandangnya sebagai raja yang paling berkuasa di Badung yang harus mereka segani.[12]
Menurut Anak Agung Ngurah Widura dan Anak Agung Ngurah Gde Agung, yang tampil sebagai Raja Denpasar II itu adalah I Gusti Ngurah Gde Pemecutan yang tiada lain adalah anak dari Raja Kesatria, I Gusti Jambe Sakti. Itu terjadi karena saat dinikahi oleh I Gusti Ngurah Made, janda I Gusti Jambe Sakti itu sedang mengandung.[13] Jika demikian adanya, maka sangat masuk akal jika putra I Gusti Ngurah Denpasar dari sitri lainya meninggalkan istana lalu mendirikan istana baru yang bernama Puri Kesiman.
Dalam Sejarah Politik Abad XIX
Pada tahun 1809-1810 ketika Mengwi berada di bawah kekuasaan I Gusti Agung Ngurah Made Agung, kerajaan Badung menyerbu Sibang yang merupakan daerah kekuasaan Puri Sibang yang merupakan negara bagian kerajaan Mengwi. Kerajaan Badung yang dimotori oleh tentara bayaran Belanda mampu menaklukkan Sibang. Kerajaan Mengwi tidak mampu memberikan bantuan kepada Sibang seperti dulu ketika Badung menaklukan Padangluah. Dengan ditaklukkannya Puri Sibang, walaupun tidak seluruh kekuasaannya berhasil dilucuti, namun kerajaan Badung akhirnya memperoleh kuasa untuk melakukan penggalian sebuah saluran tambahan yang mengalirkan air dari sungai Ayung ke daerah persawahan di Badung.[14] Pada periode kepemimpinan Raja I Gusti Agung Ngurah Made Agung itu, Raja Mengwi tidak lebih dari pemimpin satelit dari Raja Badung. Ia harus menyetorkan sebagian dari penghasilan kerajaan untuk dan mengirimkan bahan-bahan yang diperlukan untuk menyelesaikan pembangunan Puri Denpasar dan diharapkan memberikan sumbangan pada upacara pengebenan di Badung.[15]
Penaklukan Sibang (1809-1810) merupakan awal dari peperangan antara Badung melawan Mengwi. Pada tahun 1820, Badung menjadi pesaing Mengwi yang sangat kuat dan paling ditakuti, karena kerajaan itu berkoalisi dengan Raja Tabanan, Gianyar, dan penguasa dari desa Banjar (Buleleng Tengah). Sementara, Mengwi hanya bersekutu dengan Kerajaan Klungkung dan Karangasem, Jadi, Mengwi dikepung oleh musuh-musuhnya dari segala penjuru.[16] Tahun 1823 I Gusti Agung Ketut Agung tampil sebagai raja Mengwi menggantikan kakaknya. Raja ini memberikan kebebasan kepada rakyatnya menggunakan air sungai Ayung untuk kepentingan pertanian. Raja ini juga tak berbuat apa-apa ketika petani Mengwi merusak beberapa empangan air para petani Badung, sehingga merugikan kepentingan kerajaan Badung.[17]
Persoalan pengairan berkembang menjadi persoalan politik. Raja Badung menuduh Raja Mengwi sengaja merusak empangan supaya rakyat Badung kelaparan dan pada akhirnya mengabdikan diri mereka pada Raja Mengwi. Raja Badung (Kesiman, Denpasar, dan Pemecutan) menyampaikan nota protes kepada raja Mengwi, namun tidak dindahkan. Karena itu raja-raja Badung bermufakat menyerang kerajaaan Mengwi. Sebelum penyerangan dilakukan, Raja Badung menghubungi Raja Tabanan dan Gianyar. Kerajaan Tabanan dapat mengusai Desa Marga, Gianyar merebut Desa Kadewatan, dan Badung memperoleh beberapa desa di wilayah selatan. Menyadari dirinya akan kalah, Raja Mengwi segera mengusulkan genjatan senjata yang berlanjut dengan perdamaian. Perdamaian itu disahkan pada tahun 1828 melalui pasebaya, surat perjanjian yang menyatakan bahwa Raja Mengwi bersedia menghormati kedaulatan Kerajaan Badung. [18]
Pada tahun 1829 Raja Mengwi mencabut kembali surat itu, sebab ia menemukan peluang Badung tidak akan mampu bereaksi. Saat Badung sedang berduka, karena rajanya dari Puri Denpasar mangkat. Karena itu raja dan rakyat Badung lebih disibukkan oleh upacara dan upakara kematian. Tahun 1830 disusul oleh mangkatnya raja Badung dari Puri Pemecutan. Ketika kesempatan sudah terbuka, kerajaan Mengwi sudah berkoalisi dengan Kerajaan Klungkung, sehingga posisinya pun aman dari serangan musuh-musuhnya.[19]
Menurut Henk Schulte Nordholt, penghentian perang melawan Mengwi juga disebabkan oleh sikap putra raja yang mangkat tahun 1828. Pangeran itu tidak bisa menerima penyebab kepergian ayahnya, yang mangkat karena diracun, yang disebut sebagai kasus kedua dari tiga pembunuhan dalam pengambilalihan kekuasaan dinasti Badung. Raja muda itu berbalik melawan pamannya, Raja Badung I Gusti Gde Ngurah Kesiman alias I Gusti Ngurah Made Pemecutan, yang dianggap merampas kekuasaan ayahnya dan ia memutuskan melarikan diri ke Mengwi. Sebagai ahli waris penerus ayahnya, dia meniadakan kewajiban para raja bawahan memberikan penghormatan pada pusat Kerajaan Badung. Dengan demikian Raja Badung tidak mampu mendesak rakyat mendukung dirinya untuk menggempur Mengwi. Jadi, status Mengwi sebagai sebuah kerajaan yang lebih rendah daripada Badung, dengan sendirinya sudah dicabut.[20]
Dalam Sejarah Ekonomi Abad XIX
Perubahan ekonomi diawali dengan keinginan pemerintah kolonial Belanda menjajagi kemungkinan membuka kantor perdagangan di Bali.[21] Menurut Ide Anak Agung Gde Agung, penjajagan itu sudah dilakukan sejak tahun 1808 ketika mereka menugaskan Kapten Van der Wahl ke Bali. Ia berhasil mengadakan perjanjian persahabatan dengan Raja Badung I Gusti Ngurah Made Pemecutan. Dalam perjanjian itu antara lain disebutkan Wahl mengakui Gusti Ngurah Made Pemecutan sebagai susuhunan, junjungan raja seluruh pulau Bali. Keputusan itu disebut sebagai kesalahan politik Wahl karena status itu dipegang oleh Raja Klungkung sebagai penerus dinasti Dalem Gelgel. Sebagai imbalan atas dukungan itu, pihak Raja Badung memberikan persetujuan kepada Belanda membuat benteng-benteng, pangkalan meriam, dan mendaratkan pasukan tak terbatas di wilayah kerajaan Badung.[22]
Ide Anak Agung Gde Agung menyebutkan raja-raja Bali menentang isi perjanjian itu, karena akan dapat membahayakan kekuasaan mereka masing-masing. Perjanjian itu tidak disetujui oleh Gubernur Jenderal Willem Herman Daendels di Batavia. Tantangan itu mengakibatkan I Gusti Ngurah Made Pemecutan mengundurkan diri sebagai Raja Badung pada tahun 1810 dan kekuasaannya digantikan oleh putranya.[23] Tujuh tahun kemudian, tanggal 1 Desember tahun 1817 Komisaris H.A. van den Broek datang ke Bali untuk mengunjungi Raja Buleleng. Ia kemudian meneruskan perjalanan ke timur. Tanggal 18 Desember 1817 ia mengadakan pertemuan dengan Raja Karangasem dan tanggal 23 Januari 1818 dengan Raja Badung I Gusti Gde Ngurah Kesiman. Raja Badung memanfaatkan kedatangan Broek untuk kepentingan politik dan ekonomi. Secara politik, ia mendesak Belanda supaya mau membantunya dalam menghadapi Lombok. Sebagai imbalannya, Raja Badung menginjinkan Belanda membangun kantor perdagangan di Badung, namun bukan dipelabuhan, melainkan di pantai. Namun rencana itu dibatalkan karena Raja Badung khawatir akan menimbulkan kecemburuan raja-raja lain di Bali. [24]
Raja Badung sempat mengajukan naskah pejanjian kepada Broek, namun ditolak karena tidak menguntungkan Belanda secara politik dan ekonomi, karena menempatkan seolah-olah Kerajaan Belanda lebih kecil daripada Kerajaan Badung dan teksnya tidak menyebutkan perjanjian izin membangun kantor pedagangan di Badung. Sebagai gantinya, Broek yang mengajukan naskah perjanjian, namun ditolak oleh Raja Badung.[25]Dengan demikian, missi Belanda menguasai Badung dengan bersembunyi di balik kepentingan ekonomi gagal. Pada tahun 1824, Belanda mengulangi lagi usaha menjalin persahabatan dengan Raja Badung. Kali ini yang dikirim orang keturunan Arab bernama Pangeran Said Hasan al Habeshi. Ia datang bersama sekretarisnya Abdullah bin Muhammad el Mazrie. Mereka tinggal di Bali dari tahun 1820-1824. [26]
Utusan Belanda itu menyampaikan laporan kepada tuannya, bahwa raja-raja Bali sedang bertengkar satu sama lain untuk merebut kekuasaan. Jadi, ada peluang untuk meluaskan kekuasaan ke Bali, namun tidak semudah membalikkan tangan, karena raja-raja Bali umumnya tidak senang jika orang-orang Belanda ada di Bali. Mereka juga menyampaikan informasi, bahwa di antara semua kerajaan di Bali, Badung yang paling makmur. Kerajaan ini punya tiga pelabuhan yakni Sanur, Benoa, dan Kuta. Ketiganya ramai dikunjungi oleh saudagar asing, sehingga sangat menguntungkan Badung.[27]
Laporan itu akhirnya mendorong kembali Belanda menjalin hubungan dengan Raja Badung. Karena itu, tahun 1826 mereka mengirim Kapten J.S Wetters. Ia berhasil menjalin persahabatan dengan Raja Badung melalui sebuah surat perjanjian. Sebagai implementasinya, Belanda mengangkat Dubois sebagai pejabat perekrutan calon prajurit Bali. Saat itu Belanda membutuhkan tentara Bali untuk dipakai dalam Pangeran Dipanagara di Jawa Tengah. Dubois mendapat izin dari raja Badung untuk menetap di desa Kuta dan tinggal di rumah biasa.[28] Rupanya ia curang, karena bukan hanya merekrut para calon tentara asal Bali, tetapi menyelundupkan para budak. Atas kesalahannya itu ia oleh Raja Badung.
Raja Badung I Gusti Gde Ngurah Kesiman akhirnya memberlakukan undang-undang pelarangan perbudakan yang dikeluarkan oleh Belanda tahun 1815. Pemberlakuan undang-undang ini merugikan sektor perdagangan raja-raja Bali, karena selain candu, komiditas ini sangat sangat mengntungkan. Sebelum tahun 1815, dalam setahun sekitar 2000 orang budak ditukar dengan uang kepeng, senjata, dan sejumlah besar candu.[29]Setelah itu Raja Badung menjalin hubungan dagang dengan Singapura yang kemudian diikuti oleh raja-raja lain. Tahun 1830 bahkan terjadi perdagangan langsung antara Bali dengan Singapura, tanpa singgah di Jawa. Para pedagang berlabuh di Kuta. Belanda pun cemas dan ingin segera menaklukkan Bali, sebab tidak ingin didahului Inggris. Mereka lalu mengirim mata-mata bernama Jembrong. Ia berangkat dari Banyuwangi dan tiba di Kuta tanggal 18 Agustus 1835. Sembilan hari kemudian ia tiba kembali di Banyuwangi dan melaporkan hasil penelitiannya kepada Belanda.[30]
Belanda kemudian merancang strategi menguasai Bali. Pada awalnya, mereka meminta NHM (Nederlandsche Handelmaatschappij) supaya segera membuka kantor dagang di Bali. Sebagai imbalannya, NHM akan diberikan bantuan finasial jika sampai mengalami kerugian atau kegagalan di Bali. Kantor NHM akhirnya berdiri di Kuta tanggal 1 Agustus 1939.[31] NHM di Bali mengalami kerugian di Bali, yang disebabjab oleh adanya persaingan ketat dengan George Morgan King, Mads J. Lange, dan pedagang Bugis. George Morgan King adalah seorang pedagang Inggris mulai menetap di Lombok tahun 1835. Ia berjasa dalam kemenangan Raja Mataram melawan musuh-musuhnya.[32] Sedangkan Mads J. Lange adalah seorang pedagang asal Denmark sebelumnya tinggal di Lombok. Dia berpihak dan membantu kerajaan Karangasem-Sasak ketika berperang melawan kerajaan Mataram. Seteleh kerajaan Karangsem-Sasak kalah dalam peperangan itu, Lange melarikan diri dan tinggal di Kuta. [33]
Kegagalan itu juga disebabkan oleh perintah Raja Badung yang melarang rakyatnya tidak menjalin hubungan perdagangan dengan NHM. Selain itu, juga disebabkan oleh pangeran Puri Kesiman, I Gusti Ngurah Ketut yang tidak setuju terhadap keinginan NHM membangun tembok batu di lingkungan kantornya.[34] Biarpun gagal secara ekonomi, namun NHM Bali berhasil secara politik. Itu disebabkan karena dua raja Badung, yakni Pemecutan dan Kesiman datang ke kantor NHM untuk meminta bantuan mesiu dan timah hitam kepada Belanda yang akan digunakan melawan Klungkung. Sebagai imbalannya mereka memberikan izin membangun sebuah benteng kecil yang dikamuplase dalam bentuk rumah kantor supaya tidak dicurigai oleh raja-raja Bali lainnya.[35]
Dalam Meluasnya Pengaruh Belanda
Melalui jalan yang dibuka NHM, Belanda memperoleh jalan menguasai Bali. Satu persatu kerajaan Bali dapat ditaklukkan. Proses penaklukan diawali dengan terdamparnya kapal “Overijse” di dekat Pulau Serangan tanggal 25 Juli 1841. Raja Badung dari Puri Kesiman melarang rakyatnya menguasai barang-barang dan benda-benda kapal, namun rakyat serangan membangkang. Sesuai dengan hukum tawan karang, mereka menganggap semua barang dan harta benda kapal itu adalah hak mereka. Raja Kesiman akhirnya mengikuti kehendak rakyat Serangan.[36]
Kapten kapal dan Belanda menyebut aksi itu sebagai perampokan, sedangkan Raja Badung dan rakyat Serangan menyebutnya sebagai pelaksanaan hak tawan karang. Perbedaan persepsi ini yang menjadi langkah awa Belanda menaklukkan Bali. Gubenur Jendral lalu menugaskan Komisaris Pemerintah melobi raja-raja Bali agar mau menandatangani naskah perjanjian yang menguntungkan Belanda. Raja Kesiman dan Raja Pemecutan mau menandatangani sebuah naskah perjanjian, yang berisikan tiga point penting, yakni, (i) kerajaan Badung adalah milik pemerintah Belanda; (ii) Kerajaan Badung berjanji tidak akan menyerahkan kerajaannya kepada penguasa asing kulit putih lain, dan (iii), tidak akan mengizinkan bendera lain kecuali Belanda di atas wilayahnya. [37]
Tanggal 30 Juli 1841 Raja Kesiman dan Raja Pemecutan kembali menandatangani surat perjanjian dengan Belanda. Dalam perjanjian kali ini ada disebutkan sejumlah hal yang menunjukkan kerajaan Badung sudah menjadi milik Belanda. Betapa tidak, dalam perjanjian itu ada disebutkan, jika kapal-kapal atau perahu Belanda masuk ke pelabuhan Badung akan disambut dengan cara menaikkan bendera Belanda dan jika pemerintah kolonial Belanda mendapat kesulitan dalam suatu peperangan, maka kerajaan Badung sedapat mungkin akan memberikan bantuan. [38] Setelah itu, tanggal 11 Nopember, Raja Karangasem mengikuti langkah kerajaan Badung, yang kemudian diikuti pula oleh Raja Buleleng tanggal 26 Nopember 1841, dan Raja Klungkung dan tanggal 6 Desember 1841.[39]
Biarpun sudah berhasil mengajak sejumlah raja Bali menandatangi surat perjanjian, namun Belanda belum puas. Mereka ingin raja-raja Bali mau menandatangi surat perjanjian penghapusan hak tawan karang. Pada tanggal 28 Nopember 1842 ketiga raja di Badung sepakat menandatangi surat perjanjian penghapusan hak tawan karang. Keberhasilan itu berlanjut pula di Karangasem, Buleleng, dan Klungkung yang berlangsung selama Mei 1843. [40] Hanya berselang enam tahun setelah peristiwa itu, kerajaan Buleleng dapat dikuasai oleh Belanda. Dengan jatuhnya Buleleng, maka Jembrana yang saat itu sedang berada di bawah kekuasaan Buleleng dapat pula dikuasai Belanda.
Dari Buleleng, tentara Belanda bergerak ke arah timur dan berhasil menaklukkan kerajaan Karangasem berkat bantuan kerajaan Karangsem Seleparang. Dari Karangasem mereka bergerak menuju Kusamba untuk menaklukkan kerajaan Klungkung, namun gagal, bahkan Jenderal Michiel yang berjasa dalam perang Aceh dan pemimpin tentara Belanda saat menaklukkan Buleleng, gugur dalam perang di Klungkung.[41] Pada saat tentara Belanda bergerak menuju Kusamba, Kerajaan Badung berusaha menyerang Kerajaan Mengwi, namun dapat dihalau oleh tentara Mengwi. [42]
Saat itu, Kerajaan Badung memang sedang berusaha meluaskan wilayah kekuasaannya di Bali Selatan. Demi mencapai keinginan itu, kerajaan Badung memerlukan bantuan militer Belanda, karena itu mereka tidak mau ikut mendukung Buleleng saat pertempuran melawan Belanda. Pertikaian antara pemerintah kolonial Belanda dengan raja-raja di Bali dapat diatasi dengan munculnya Perdamaian Kuta 1849. Dalam pertemuan itu hadir sekitar 30.000 orang pengikut raja Bali Selatan dan setiap peserta menganggap dirinya bermakna dalam upacara perdamaian itu. [43]
Raja Badung I Gusti Gde Ngurah Kesiman bersama dengan sabahatnya Mads J Lange sangat berperan dalam hal itu. Mads Lange, yang tak ingin bisnisnya hancur karena peperangan, mendekati kepala pasukan Belanda. Saat itu, setelah dapat menjatuhkan Buleleng, Jembrana, dan Karangsem, pasukan Belanda sudah mau menghancurkan kerajaan Klungkung. Lange mengatakan kepada kepala pasukan Belanda, jika tetap memaksakan menyerang Klungkung, 33.000 pasukan Bali akan membantu Dewa Agung Klungkung. Kepala pasukan Belanda akhirnya luluh, membatalkan niat menyerang Klungkung. Bersamaan dengan itu, Raja Badung I Gusti Gde Ngurah Kesiman mendekati Dewa Agung Klungkung yang sudah terbakar emosi, supaya membatalkan keinginnya untuk berperang melawan Belanda. Ia berusaha memberikan gambaran suram jika peperangan sampai terjadi. Sehebat apapun peperangan, akan berakibat buruk bagi Bali. Raja Klungkung ternyata mau mendengar nasehat Raja Kesiman, sehingga tercipta perdamaian di Kuta seperti yang disebutkan di atas.[44]
Dalam Peperangan Antarkerajaan Abad XIX
Tahun 1850 Dewa Agung Ketut Agung tampil sebagai raja Klungkung menggantikan kekuasaan ayahnya Dewa Agung Putra. Ia menyebut dirinya sebagai junjungan, susuhunan raja Bali dan Lombok. Julukan ini begitu membebani dirinya, karena itu ia berambisi menaklukkan raja-raja yang tidak mau mengakui eksistensinya sebagai Susuhunan Bali dan Lombok.[45] Ternyata banyak raja yang tak mau mengakuinya, karena mereka memiliki sumber daya dan man power yang lebih kuat daripada Klungkung. Kerajaan Badung misalnya, memiliki sawah yang jauh lebih luas daripada Klungkung. Demikian pula Gianyar, yang saat itu sedang menjelma menjadi negara yang kuat, makmur dan tenteram. [46]
Raja yang paling berani menunjukkan sikap penolakan terhadap eksistensi Dewa Agung Klungkung adalah Raja Gianyar, sehingga terjadilah permusuhan antara Klungkung dan Gianyar. Menurut Baron R.W. van Hoevell, Klungkung mulai memusuhi dan menyatakan perang melawan Gianyar setelah terjadinya pernikahan Raja Klungkung dengan kemenakan Raja Kesiman, anaknya Gusti Ngurah Jambe dari Puri Denpasar. Sebelum Raja Klungkung menyatakan perang terhadap kerajaan Gianyar, Raja Kesiman bahkan sudah membangun kubu-kubu pertahanan di daerah perbatasan dengan wilayah kerajaan Gianyar. Raja Gianyar juga bermusuhan dengan Raja Bangli Dewa Gde Tangkeban. Dalam menghadapi musuh-musuhnya itu, Gianyar berkoalisi dengan kerajaan Mengwi.[47]
Raja Kesiman yang bergelar I Gusti Gde Ngurah Kesiman akhirnya mangkat pada tahun 1861. Ia digantikan oleh anaknya yang juga bergelar I Gusti Gde Ngurah Kesiman, yang selanjutnya disebut Raja Kesiman II.[48] Sama seperti ayahnya, Raja Kesiman II juga mempunyai peranan penting dalam sejarah politik kerajaan Badung, terutama semenjak terjadi peningkatan suhu politik di Bali sejak tahun 1880-an. Keruhnya situasi politik, terlihat dari semakin renggangnya hubungan antara kerajaan Gianyar dan Badung. Pada tahun 1883 atas saran patih kerajaan Gianyar, I Ketut Sara, maka Raja Gianyar Dewa Manggis VII menggabungkan kerajaan Gianyar dengan Klungkung, namun dalam hati kecilnya Raja Gianyar tetap tidak mau mengakui Raja Klungkung sebagai sesuhunan Bali dan Lombok. Karena itu, ia tak mau menghadap Raja Klungkung sekalipun hanya sebagai tanda penghormatan. Hal ini berdampak luas bagi kerajaan Gianyar dan berimbas pada kerajaan lain termasuk Badung. Persoalannya, sejak itu Raja Klungkung selalu mencari jalan untuk menghancurkan kerajaan Gianyar, di antaranya dengan cara memanfaatkan pemberontakan rakyat Apuan terhadap raja Gianyar.[49]
Rakyat Apuan kemudian mendapat sanksi dari Raja Gianyar, karena itu mereka matilas, minta suaka politik ke Bangli, yang merupakan musuh bebuyutan Gianyar. Dengan demikian, Desa Apuan pun akhirnya menjadi bagian dari tanggungjawab Kerajaan Bangli. [50] Akibatnya, terjadi perang antara Bangli yang didukung oleh rakyat Apuan melawan Gianyar yang dimenangkan oleh kerajaan Bangli.[51] Peristiwa Apuan ditunggangi oleh Raja Klungkung. Dengan alasan supaya kasus Apuan tak terulang lagi, maka Raja Klungkung memprovokasi para punggawa di kerajaan Gianyar supaya memberontak kepada tuannya, Raja Gianyar. Punggawa Tjokorda Oka Negara termakan povokasi Raja Klungkung, karena itu tahun 1884, ia melepaskan diri dari kerajaan Gianyar dan mengakui kekuasaan Dewa Agung di Klungkung.[52]
Tjokorda Oka Negara merasa status sosialnya lebih tinggi daripada Dewa Manggis VII, sehingga dia menganggap lebih pantas sebagai Raja Gianyar. Sebelum melakukan pemberontakan, ia membentuk pasukan koalisi yang meliputi Tampaksiring, Payangan, dan Blahbatuh. Ia juga pergi ke Batuan untuk mendapat dukungan dari I Dewa Gde Samba, namun gagal. Biarpun gagal, namun ia mendapatkannya dari Manca Sukawati. Dukungan yang lebih besar diperolehnya dari Kerajaan Klungkung berupa laskar perang sekitar 200 orang dan dari Raja Mengwi diperoleh janji siap memberikan dukungan jika pemberontakan itu benar-benar berlangsung. Dukungan itu membesarkan semangat Tjokorda Oka Negara untuk melakukan serangan terhadap Gianyar.[53]
Menghadapi kekuatan lawan sedemikian rupa, raja Gianyar mencoba meminta perlindungan pada Belanda, namun ditolak.[54] Raja Gianyar mencoba mendekati Raja Klungkung, yang kemudian menyarankannya supaya mengungsi ke rumah saudaranya di Banjarangkan. Sebelum dan sesudah Dewa Mangis VII berada di Banjarangkan, tentara Tjokorda Oka Negara sudah berhasil menaklukkan sebagian desa di Gianyar seperti Batuan, Batuaji, Puaya, Paninjoan, Sumampan, Abianpandan, Camenggoan, Sakah, Kengetan, Ketewel sampai Gumicik.[55]Serangan-serangan dari negara-negara koalisi juga sudah membuahkan hasil. Banyak sekali wilayah kerajaan Gianyar yang berhasil dikuasai lawan.[56]
Sementara, Raja Badung menyerang dari arah Selatan dengan menerobos benteng yang dibuat oleh Gianyar, sehingga dapat menguasai Gumicik, Kapal, Pagutan, Manguntur, Sasih, Tegaltamu, dan Batubulan.[57]Karena itu kerajaan Gianyar semakin terjepit itu. Raja Gianyar akhirnya memutuskan menyerahkan diri ke Raja Klungkung. Penyerahan diri Raja Gianyar ke Klungkung diawali dengan penyerahan benda-benda pusaka kerajaan Gianyar kepada Raja Klungkung pada bulan September 1885.[58] Namun Raja Gianyar akhirnya diarahkan ke Puri Satria dan yang terletak di sebelah timur tukad Unda untuk ditawan.[59]
Sejumlah punggawa, manca, dan pejabat kerajaan yang setia terhadap raja Gianyar Dewa Manggis VII segera bangkit melakukan serangan balasan.[60] Menurut sejarawan Ida Bagus Sideman, persekutuan untuk mengadakan perlawanan itu diprakarsai oleh Cokoda Gde Sukawati yang menjabat sebagai Punggawa Ubud. Setelah ada kesepakatan, mereka menyampaikan rencana perlawanan itu kepada Dewa Manggis VII ditempat pengasingannya guna meminta persetujuan. Mereka juga meminta supaya dua orang putra Raja Gianyar yang ikut diasingkan dapat melarikan diri dari Puri Satria.[61]
Rencana perlawanan itu ternyata mendapat dukungan rakyat. Mereka sama-sama menghendaki supaya Dewa Manggis VII segera dipulangkan ke Puri Gianyar. Mereka mengaku akan berbuat apapun untuk mencapai tujuan itu. Rencana itu ternyata mendapat dukungan pula dari kerajaan Mengwi.[62] Namun Raja Gianyar itu mangkat di tempat pengasingannya tahun 1887.[63] Rencana aksi demonstrasi itu ternyata bocor, karena itu Tjokorda Oka Negara segera pergi ke Klungkung untuk melaporkannya kepada Dewa Agung Klungkung. Raja Klungkung marah. Ia segera berkirim surat kepada Raja Bangli dan Badung supaya segera menyerang punggawa, manca, dan pejabat tinggi di Gianyar yang tidak mematuhi perintah Raja Klungkung. Sambil menunggu balasan dari raja Badung dan Bangli, Raja Klungkung pun menyerang desa Lebih, Tulikup, dan Kembengan.[64] Sebagai akibat dari perang itu, kerajaan Gianyar terpecah tiga, yang masing-masing dikuasai oleh Bangli, Klungkung, dan tiga wilayah otonom yang berada di bawah kepunggawaan masing-masing, yakni Peliatan, Ubud, dan Tegallalang.[65]
Tjokorda Oka Negara pun ingin menaklukkan Peliatan. Namun Manca Ubud Tjokorda Gde Sukawati menentangnya, karena itu ia menjalin kerjasama dengan Peliatan, Tegallalang, Petulu, Mas, dan Sayan untuk menghadapi serangan Tjokorda Oka Negara.[66] Koalisi itu menjadikan pasukan Tjokorda Gde Sukawati sangat kuat, sehingga tidak satupun laskar Tjokorda Oka Negara mampu mengalahkan laskar Peliatan. Tjokorda Oka Negara akhinya gugur dalam peperangan itu. Jenazahnya dibawa oleh putrinya Dewa Ayu Muter[67] ke Puri Mas dan selanjutnya dipulangkan ke Negara.[68] Setelah perang saudara itu berakhir, kedua putra Dewa Manggis VII kembali ke Puri Gianyar.[69]
Manca Ubud Tjokorda Gde Sukawati lalu melakukan aksi pembersihan guna mencari manca-manca Gianyar yang masih dikuasai oleh Klungkung. Langkah pertamanya adalah membakar Puri Negara.[70]Jenazah Tjokorda Oka Negara pun terbakar. I Dewa Ayu Muter, putri Tjokorda Oka Negara bersama suaminya Tjokorda Pelonot melarikan diri ke Badung. Setelah itu pasukan Tjokorda Gde Sukawati menghancurkan Singapadu dan Batubulan. Keesokan harinya mereka menyerang Blahbatuh yang saat itu masih dikuasai oleh putra Raja Klungkung Cokorda Lingsir Nagi, yang kemudian bersama dengan anak-istrinya melarikan diri ke Klungkung.[71]Dengan demikian, laskar Tjokoda Gde Sukawati berhasil memulihkan kembali kerajaan Gianyar, yang akhirnya dipimpin oleh putra Dewa Manggis VII yang bernama Dewa Pahang.[72]
Menurut versi Ide Anak Agung Gde Agung, setelah Tjokorda Oka Negara gugur dalam perang, putrinya yang bernama Anak Agung Istri Putra (bukan I Dewa Ayu Muter) akan dinikahkan dengan keponakan Punggawa Peliatan, bernama Cokorda Saren Kangin. Namun sang putri mengulur-ulur waktu, sampai akhirnya setahun kemudian, ia dinikahkan dengan keluarga Dewa Agung Klungkung bernama Tjokorda Pelonot. Peristiwa ini menjadi pemicu dari meletuskan perang Negara II. Perang ini berlangsung selama dua tahun, yang kembali dimenangkan oleh pasukan koalisi Peliatan di bawah pimpinan Cokorda Gde Sukawati. Anak laki-laki, Tjokorda Oka Negara melarikan ke Badung. [73]
Setelah gagal menguasai Gianyar, Raja Klungkung melirik Mengwi. Ia tidak senang dengan raja Mengwi yang semula dimintanya untuk menjaga keamanan di wilayah Negara, akhirnya ikut memperoleh bagian tanah ketika ada pembagian wilayah kepunggawaan Negara kepada para penakluknya. Ia pun mengadu Mengwi dengan Badung. Perang antara Mengwi versus Badung diawali dengan minggatnya adipati Mengwi bernama Gusti Agung Made Alangkajeng ke kerajaan Badung, yang merupakan daerah asal istrinya sambil membawa sejumlah pusaka kerajaan Mengwi.[74] Henk Schulte Nordholt menyebut adipati yang membelot ke Badung itu dengan nama Agung Made Raka, yang dikenal sebagai pimpinan perang.[75]
Adipati Mengwi itu akhirnya mangkat di Badung tahun 1885. Raja Mengwi meminta supaya jenazahnya dipulangkan ke Mengwi, namun Raja Badung menolak. Raja Mengwi kemudian menutup persediaan air irigasi di Sempidi. Air pun dicemari dengan sampah daun yang mengakibatkan gatal-gatal dan pingsan bagi para pemakainya. Raja Badung meminta pertolongan kepada Belanda untuk membantu menyelesaikan persoalan itu, namun ditolak karena mereka tidak mau terlibat dalam perang di Bali Selatan.[76] Sebaliknya, Mengwi meminta bantuan kepada Raja Klungkung, yang digunakan untuk kepentingan sendiri. [77]
Raja Klungkung memenuhi permintaan Mengwi. Ia lalu meminta bantuan Raja Karangasem supaya datang ke Mengwi untuk menyelesaikan persoalan Mengwi dengan Badung. Raja Karangasem akhirnya mampu meyakinkan Raja Mengwi supaya menghadap Dewa Agung Klungkung untuk meminta maaf atas kesalahannya. Namun sebelum terlaksana, Raja Mengwi curiga, jangan-jangan pengalaman Raja Gianyar terulang pada dirinya. Ia pun meminta supaya Raja Karangsem dan Punggawa Sibang yang merupakan musuh dalam selimut mau menemani dirinya menghadap ke Klungkung.[78] Punggawa Sibang menolak permintaan Raja Mengwi, karena sudah dipesan sedemikian rupa oleh Raja Klungkung. Dengan demikian, Raja Mengwi juga tidak mau menghadap Raja Klungkung. Dalam situasi yang tegang itu, laskar Badung tiba-tiba menyerang kapunggawaan Sibang. Ternyata serangan itu terjadi atas persetujuan Raja Klungkung. Setelah Sibang dapat ditaklukkan, laskar Badung kemudian menyerang Mengwi dan berhasil menguasai Mengwi Selatan termasuk Mengwitani. Akhirnya, tanggal 20 Juni 1891 Raja Mengwi dapat dibunuh.[79]
Dalam Situasi Politik Awal Abad XX
Raja Badung I Gusti Ngurah Kesiman II yang memainkan peranan cukup penting dalam sejarah Bali sejak pertengahan abad XIX akhirnya mangkat pada tanggal 14 Agustus 1904. [80] Menurut Ide Anak Agung Gde Agung, sejak mangkatnya Raja Kesiman II, jabatan Raja Badung lepas dari Puri Kesiman. Raja Kesiman III dianggap kurang cakap dalam memimpin kerajaan Badung, karena tidak memiliki kepribadian yang kuat dan kewibawaan seperti ayahnya, maka jabatan itu harus diserahkan kepada raja di Puri Pemecutan atau Puri Denpasar. Sesuai degan urutan garis ibunya, seharusnya yang menjabat sebagai penguasa tertinggi di kerajaan Badung adalah raja dari Puri Pemecutan, namun karena sudah tua dan sakit-sakitan, maka diserahkan ke Puri Denpasar. Saat itu yang berkuasa di Puri Denpasar adalah I Gusti Gde Ngurah Denpasar alias I Gusti Ngurah Made Agung,[81] yang menggantikan kakaknya I Gusti Alit Ngurah Pemecutan yang meninggal bulan Februari 1902.
Mungkin karena mendengar Raja Kesiman II sudah tua dan sakit-sakitan, maka setahun sebelum ia mangkat (1903), Belanda sudah melakukan persiapan perang melawan Badung, karena saat itu, seorang anggotaRaad van Indie yang bernama Liefrinck sudah berani mengatakan di masa depan kekuasaan Belanda akan bercokol di seluruh Bali.[82] Belanda bahkan telah mempersiapkan informasi-informasi peperangan, termasuk telah membuat peta-peta secara rahasia dan dikirimkan oleh mata-mata. Pada bulan Oktober 1903 seorang staf opsir sudah membuat perjalanan penjajakan bagi kemungkinan terjadinya perang. Sementara itu, Raja Badung juga sudah pula mengetahui kemungkinan terjadinya perang. Dia mengetahui kompeni mencari dirinya dan seseorang bernama Plagong menasehatinya supaya menyerang Gianyar, tetapi dia tidak mengikuti nasehat itu.[83]
Tak lama kemudian, tanggal 27 Mei 1904 sebuah perahu dagang milik seorang Cina berbendera Belanda bernama Sri Kumala terdampar di pantai Sanur. Pemilik mengaku isi perahunya dirampas oleh rakyat Sanur. Belanda menuduh barang-barang muatan perahu dagang itu telah dirampok oleh rakyat Sanur, karenanya Raja Badung harus membayar ganti rugi 3000 ringgit beserta ongkos-ongkos yang dikeluarkan oleh Belanda. Raja Badung tidak begitu saja percaya, ia pun memanggil punggawa Sanur Ida Bagus Ngurah supaya menghadap ke istana. Ida Bagus Ngurah menyatakan tidaklah benar rakyat Sanur merampas barang-barang perahu dagang itu.
Atas dasar keterangan itu, tanggal 21 Agustus 1906 Raja Badung mengirimkan surat balasan, yang menyatakan bahwa rakyat Sanur tidak merampok Sri Kumala. Rakyat Sanur telah bersumpah, perahu dagang itu dalam keadaan kosong.[84] Belanda tetap bergeming. Karena itu, para saudagar Cina yang sudah mulai cemas, menganjurkan supaya Raja Badung mengalah, karena takut akan kemungkinan terjadinya perang. Mereka menyatakan bersedia membantu membayar ganti rugi.[85] Saran supaya Raja mengalah juga disampaikan oleh keluarga kerajaan.[86] Raja Badung sebenarnya juga sudah tahu kasus kapal dagang itu hanya suatu alasan untuk menguasai Badung. Tetapi ia tidak mau mengalah, karena itu terjadilah perang, yang kemudian dikenal sebagai Puputan Badung.[87]
Tanggal 15 September raja memerintahkan para punggawa dan prajurit Badung mengusir Belanda, tetapi serangan itu gagal.[88] Tanggal 16 pagi hari Raja Badung mengerahkan 1000 orang rakyat bersenjata dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai (manca Jro Kanginan Pamecutan) untuk berjaga di desa Panjer, sebelah barat Sanur. Serangan itu juga dapat digagalkan. Tanggal 17 September, menurut catatan harian I Gusti Putu Jlantik, Raja Kesiman I Gusti Ngurah Mayun tewas dibunuh oleh seorang brahmana bernama Ida Wayan Meregog. [89] Ida Anak Agung Gde Agung menyebutkan peristiwa itu terjadi pada tanggal 18 September.[90] Menurut I Gusti Ngurah Bagus Ariman, salah seorang tetua di Puri Kesiman, I Gusti Ngurah Mayun bukan putra dari Raja Kesiman II, melainkan cucunya, putra dari anaknya yang bernama I Gusti Ngurah Mayun Aji, namun kurang dikenal dalam sejarah karena tidak menduduki jabatan strategis dalam pemerintahan kerajaan Badung.[91]
Ketika Raja Kesiman I Gusti Ngurah Mayun dibunuh, menurut Ida Anak Agung Gde Agung, Raja Kesiman III itu sedang menjalankan perintah Adipati Agung Kerajaan Badung, I Gusti Gde Ngurah Denpasar alias I Gusti Ngurah Made Agung supaya mengerahkan rakyatnya untuk melawan pasukan Belanda. Ada beberapa golongan yang tidak mau menjalankan perintahnya. Raja Kesiman III lalu memberikan sanksi kepada para pembangkang dengan menyita harta kekayaannya. Ketika diadakan perundingan di Puri Kesiman, salah seorang dari mereka menghunus keris, lalu menikamnya sampai tewas. Sebagai balasan atas perbuatannya itu, sang pembunuh pun dibunuh oleh keluarga Raja Kesiman.[92]
Menurut Willard A. Hanna, Raja Kesiman III dibunuh oleh brahmananya sendiri, karena menolak memimpin pertempuran, sehingga rakyat membakar purinya.[93] Namun menurut H. van Kol, Puri Kesiman tidak sampai terbakar. Hanya harta kekayaan rajanya yang dijarah oleh penduduk sampai habis. Setelah Perang Badung usai, Puri Kesiman diperbaiki kembali.[94] Di zaman kemerdekaan, seorang penulis lokal mengatakan Raja Kesiman dibunuh secara pengecut oleh mata-mata kompeni, seorang brahmana dari Geria Sinduwati;[95] sedangkan versi sejarah lisan menyebutkan bahwa Raja Kesiman III sengaja meminta abdi kesayangannya untuk menikam dirinya. Keputusan ini diambil karena dia tidak ingin dibunuh apalagi ditawan oleh Belanda. Sebelum penikaman itu terjadi, dia berkata bahwa dirinya dan abdinya akan lahir kembali ke dunia.[96]
Pada tanggal 18 September Belanda menembakkan meriam dari pantai Sanur ke Kota Denpasar, yang berlangsung sampai 216 kali.[97] Saat peristiwa itu terjadi dua orang kerabat Raja Badung yakni I Gusti Alit Made Karta dan adiknya dari lain ibu I Gusti Ngurah Alit melarikan diri ke selatan menuju Kuta. Siapakah I Gusti Alit Made Karta dan I Gusti Ngurah Alit yang biasa disebut I Gusti Alit Ngurah? Mereka adalah dua orang anggota keluarga kerajaan Badung yang ditawan oleh Belanda di Lombok. I Gusti Alit Made Karta adalah putra I Gusti Alit Ngurah Pemecutan alias I Gusti Ngurah Raka yang mangkat tahun 1902, yang tiada lain adalah kakak Raja Badung. Sedangkan I Gusti Ngurah Alit juga anaknya, namun ibunya berasal dari garis padmi, bernama Sayu Ketut Ngurah.[98]
Selanjutnya, pada tanggal 19 September sudah ada kepastian tentang terbunuhnya Raja Kesiman III dan Asisten Resident H.E.J.F Schwartz, sudah memperoleh informasi yang valid tentang peristiwa itu.[99] Hari itu pihak Belanda kembali menembakkan meriam dari pantai Sanur ke Kota Denpasar yang berlangsung sampai sebanyak 200 kali.[100] Bersamaan dengan itu, mulai dilakukan penyerangan ke ibukota dari bivak Sanur, pasukan Belanda bergerak menuju Tangtu. Pukul 12.00 mereka tiba di Puri Kesiman, tidak ada perlawanan dari rakyat Kesiman.[101] Pada tengah malam menjelang tanggal 20 September Belanda menembakkan meriam dari pantai Sanur sebanyak 100 kali. [102]
Pada pagi harinya tanggal 20 September Belanda kembali menembakkan meriam sebanyak 20 kali yang dilanjutkan dengan granat sebanyak 60 kali. [103] Setelah itu mereka datang ke Puri Kesiman.[104] Dari Kesiman, Belanda meneruskan perjalanan ke Puri Denpasar. Pada pukul 11.00 pasukan Belanda tiba di Taen Siat. Di tempat ini raja Badung gugur.[105] Sisa-sisa pasukan Badung melarikan diri.[106] Setelah Puri Denpasar, pukul 14.00 Puri Pemecutan. dapat dapat ditaklukkan.[107] Tanggal 21 September, punggawa Badung dan Pemecutan bersama rakyatnya datang ke pasukan Belanda untuk menyatakan takluk. Sore harinya dilakukan upacara pembakaran jenazah (ngeseng) Raja Denpasar dan Pemecutan. Tanggal 22 September abu tulang Raja Denpasar dan Pemecutan dihanyutkan di pantai Kuta. Pada hari itu pula Komisaris Belanda Liefrinck dan Residen datang ke Puri Denpasar.[108]
Penutup
Dua tahun kemudian Klungkung mengalami nasib serupa dengan Badung. Semua daerah taklukan dimasukkan dalam Karesidenan Bali dan Lombok, yang meliputi afdeeling Lombok yang berkedudukan di Kota Mataram, afdeeling Bali Utara di Singaraja), dan afdeeling Bali Selatan di Denpasar. Afdeeling Bali Utara terdiri dari dua onderafdeeling, yakni Buleleng dan Jembrana, yang langsung di bawah pengawasan residen; sedangkan afdeeling Bali Selatan terdiri lima onderafdeeling, yakni Badung, Tabanan, Gianyar, Karangasem, Klungkung (dengan pulau Nusa Penida), dan Bangli.[109] Setiap onderafdeeling dibagi menjadi beberapa distrik, yang masing-masing dipimpin oleh seorang punggawa. Distrik dibagi menjadi beberapa desa yang dikepalai perbekel; dan desa terbagi menjadi sejumlah banjar yang dikepalai oleh seorang klian.
Tanggal 11 Juli 1908 onderafdeeling Badung dibagi menjadi tigabelas distrik. Tahun 1911 diadakan perubahan struktur pemerintahan. Jumlah distrik di Bali diciutkan menjadi lima yakni Mengwi, Abiansemal, Kuta, Kesiman, dan Denpasar Kota. Setiap kedistrikan memiliki seorang pemimpin yang disebut punggawa, yang bertanggungjawab kepada raja dan masing-masing distrik dibagi lagi menjadi beberapa kaperbekelan, yang dipimpin oleh seorang perbekel. Setiap kaperbekelan membawahi beberapa banjar dan setiap banjar dipimpin oleh seorang kelian banjar.
Siapakah yang menjadi Punggawa Kesiman? Seharusnya yang menjabat sebagai Punggawa Kesiman adalah keturunan Raja Kesiman III. Banyak yang mengira riwayat keluarga Raja Kesiman sudah berakhir setelah mangkatnya Raja Kesiman III. Anggapan itu ternyata keliru, seperti diceritakan oleh I Gusti Ngurah Bagus Ariman, pada tahun 1907, istri padmi Raja Kesiman III, yang sedang hamil saat perang berlangsung, melahirkan seorang anak laki-laki, diberi nama I Gusti Ngurah Made Kesiman. I Gusti Ngurah Made Kesiman memiliki putra yang lahir tahun 1925, diberi nama I Gusti Ngurah Agung Kusuma Yudha dan I Gusti Ngurah Bagus Ariman yang lahir tahun 1939, tetapi lain ibu. I Gusti Ngurah Agung Kusuma Yudha memiliki anak bernama I Gusti Ngurah Gde Kusuma Wardhana, lahir tahun 1960. Lebih dikenal dengan nama Anak Agung Ngurah Gde Kusuma Wardhana. [110]
Jadi, karena sang pewaris tahta Puri Kesiman, I Gusti Ngurah Made Kesiman masih kecil, tentu belum pantas menyandang jabatan sebagai Punggawa Kesiman, karena itu jabatan Punggawa Kesiman dipegang oleh Ida Bagus Ngurah dari Griya Jero Gde Sanur. Namun sejak tanggal 1 Nopember 1917, pemerintah Belanda menerapkan sistem pemerintahan langsung.[111] Pada 1929 sistem pemerintahan langsung digantikan dengannegarabestuuur. Menurut cerita lisan yang berkembang di Puri Kesiman, sesungguhnya, jauh sebelum penerapan sistem negarabestuur, Belanda sudah mengadakan persiapan untuk menjadikan I Gusti Ngurah Made Kesiman sebagai pemimpin Badung masa depan. Pada tahun 1916, Controlir Badung datang ke Puri Kesiman untuk meminta kesediaan I Gusti Ngurah Made Kesiman yang saat itu sudah berumur 19 tahun supaya mau disekolahkan ke Den Haag. Tujuannya, agar nanti setelah tamat sekolah, bisa menjadi Raja Badung. Akan tetapi ibu kandungnya, tidak memenuhi permintaan itu, karena khawatir anaknya tumbuh menjadi penindas rakyat.[112]
Ketidakbersedian I Gusti Ngurah Made Kesiman mengikuti skenario Belanda, mengakibatkan dirinya dan keluraga Puri Kesiman tersisih dalam bursa calon regent dalam sistem pemerintahan negarabestuuur. Sebagai tindak lanjut dari kebijakan penerapan negarabestuur, dikeluarkan surat keputusan pengangkatan keturunan raja di Bali kepala daerah, regent. Regent Klungkung dikuasakan kepada Tjokorda Oka Geg, seorang kemenakan raja Klungkung, yang sebelumnya ditawan di Lombok.[113] Regent Buleleng dipercayakan kepada I Goesti Poetoe Djlantik dari Puri Gede Singaraja, dengan gelar Anak Agung. [114] Di Badung, jabatan regent dipercayakan kepada I Gusti Ngurah Alit dengan gelar Cokorda.[115] Sama dengan Tjokorda Oka Geg, dia sengaja dipulangkan dari tempat penawanannya di Lombok.[116]
Selanjutnya, mulai 1 Juli 1938 diberlakukan sistem pemerintahan zelfbestuur. Daerah Bali dibagi menjadi delapan landschap: Buleleng, Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Klungkung, Bangli, dan Karangasem. Pada setiap landschap diangkat seorang kepala daerah yang disebut zelfbestuurder, dengan jabatan gelar masing-masing. Zelfbestuurder Bangli, Gianyar, dan Jembrana diberi gelar Anak Agung; Tabanan dan Badung disebut Cokorda; Klungkung disebut Dewa Agung, sedangkan Karangasem, Anak Agung Agung.[117] Delapan orang Zelfbestuurder Bali dilantik di Pura Besakih Pada tanggal 29 Juni 1938.[118]
Dengan adanya sistem pemerintahan Zelfbestuurder ini, maka sejak 1938 gagasan zaman raja-raja dihidupkan kembali. Pelaksanaan sistem ini disertai dengan syarat-syarat: i) di setiap landschap (swapraja) dibentuk lembaga penasehat (Paruman-Negara) untuk diajak membahas berbagai kepentingan dan persoalan daerah; gabungan delapan swapraja membentuk Paruman Agung yang bertugas menangani kepentingan semua daerah di Bali. Paruman-Agung berada di bawah pimpinan residen dan terdiri atas para anggota yang berhak memberikan suara (para penguasa swapraja) dan dua orang anggota penasehat sebagai utusan setiap daerah.[119]
ref:http://www.tspkantorsejarawan.com/puri-kesiman-saksi-sejarah-kejayaan-kerajaan-badung.html/
0 komentar