Menelisik Kembali Babat Tanah Ponorogo
Eleng-eleng o babat tanah Ponorogo
Soko Bantarangin, Prabu Klono Sewandono
Siswo kinasih, Sunan Lawu Browijoyo
Pecut Samandiman, ingkang kinaryo pusoko
Jumeglar-jumeglar, koyo goro yurnito
Eleng-eleng o babat tanah Ponorogo
Soko Bantarangin, Prabu Klono Sewandono
Siswo kinasih, Sunan Lawu Browijoyo
Pecut Samandiman, ingkang kinaryo pusoko
Jumeglar-jumeglar, koyo goro yurnito
(Bumi Reyog – cipt. Dalang Poer)
Lagu berjudul “Bumi Reyog” diatas memang secara gamblang dan jelas menyatakan bahwa babat tanah Ponorogo dimulai dari adanya kerajaan Bantar Angin. Namun, menelisik sejarah babat tanah Ponorogo dan mencari data-data faktualnya sama rumitnya dengan mengkaji sejarah kesenian khasnya yaitu Reyog. Pasalnya, sampai kini belum ditemukan data dan fakta sejarah yang membuktikan bahwa tempat itulah (petilasan di Somoroto, Red) yang menjadi awal mula terbentuknya daerah yang bernama Ponorogo. Pun dengan kapan kerajaan itu berdiri. Atau, kerajaan apa saja yang muncul setelah kerajaan Bantar Angin. Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang kesemua jawabannya masih dalam tanda tanya besar. “Sulit dicari data-data faktualnya. Penelitian secara arkeologis juga belum pernah diadakan ” papar Rido Kurnianto, dari Unmuh Ponorogo.
Sejarah babat Ponorogo akhirnya muncul dengan berbagai versi serta bermacam cerita. Namun, Rido pribadi meyakini kerajaan Bantar Angin benar-benar pernah ada. Meskipun akhirnya, cerita tentang kerajaan Bantar Angin sangat kental dengan bumbu sehingga sejarah itu lebih layak jika disebut sebagai legenda atau mitos. “Sebuah babat memang terkait erat dengan mitos/legenda,” katanya.
Namun, sejatinya mitos dan legenda yang dimunculkan dalam sejarah tidak seluruhnya membawa pengaruh buruk. “Legenda atau mitos berfungsi untuk melestarikan budaya dan menyebarkan semangat. Sehingga sejarah akan terus diingat oleh anak-cucu kita. Tidak seluruhnya jelek. Dan legenda itupun tidak hanya muncul di Ponorogo tetapi juga dibanyak kota yang lainnya,” tambah dosen Fakultas Tarbiyah ini.
Dari tangan pria ini, Ponorogo-Ponorogo akhirnya mendapat salinan cerita babat Ponorogo dan terjadinya Reyog Ponorogo milik Alm. Ki Kasni Guno Pati atau yang akrab dipanggil Mbah Wo Kucing. “Tiga bulan sebelum mbah Wo meninggal saya dikasih ini. Saya masih ingat betul pesan beliau. “Mas, ini nanti panjenengan yang meneruskan”,” kata Rido mengulangi kata-kata Alm. Mbah Wo.
Versi Alm. Mbah Wo Kucing, cerita babat Ponorogo dimulai dari tempat yang bernama Wengker (berasal dari kata Wana/Hutan dan Angker/Banyak dihuni makhluk halus). Kerajaan makhluk halus ini dipimpin oleh sepasang raja dan ratu bernama Darmawati dan Marmawati (dengan leluhurnya Prabu Boko). Kuatnya benteng pertahanan Wengker juga berkat adanya tiga Resi bersaudara yaitu; Raden Mas Jin Jami Jaya (Penguasa gunung Semeru), Raden Panji Nilosuwarno (Penguasa sumur Jolotundo, Blitar) dan Ki Gedug Padang Ati (Penguasa gunung Probolinggo).
Suatu ketika, ketiga Resi itu diperintahkan Raja Wengker untuk memperluas wilayah kekuasaan. Kesempatan ituh yang ditunggu-tunggu mereka karena sedari dulu mereka kurang senang dengan pemerintahan Darmawati dan Marmawati. Mereka pun meninggalkan Wengker hingga suatu saat sampailah mereka ditempat yang lapang dengan padang ilalang disekelilingnya. Ketiga pengembara ini kemudian menghentikan perjalanannya dan beristirahat. Tempat itu kemudian disebut Bantar Angin (Bantar/tempat yang sangat luas, Angin/udara yang berhembus). Disinilah mereka bertempat tinggal dan mendirikan padepokan.
Cerita diteruskan dengan munculnya seorang pengembara bernama Raden Panji Kelana (putra raja Kahuripan/Jenggala) di Bantar Angin. Panji Kelana kemudian berguru kepada ketiga Resi pemimpin padepokan itu. Singkat cerita, padepokan itu mengalami pergantian kekuasaan. Ketiga resi merasa sudah terlalu tua untuk memimpin BantarAngin hingga tampuk kekuasaannya diserahkan kepada Panji Kelana.
Pada suatu hari di sebuah tempat dikaki Gunung Lawu, Panji Kelana bertemu dengan Joko Pujang. Putra raja Kediri. Tabiat Joko Pujang yang tinggi hati memicu perkelahian antara keduanya. Adu kekuatan itu kemudian dimenangkan oleh Panji Kelana. Ketika Panji hendak membunuh Joko Pujang, muncullah seorang Brahmana (pertapa tua) penghuni Gunung Lawu yang melarang Panji Kelana. Dialah Kanjeng Sunan Lawu. Akhirnya kedua pemuda itu diangkat menjadi murid Sunan Lawu. Karena ketekunan kedua muridnya, Sunan Lawu memberikan aji kesaktian kepada mereka. Raden Panji Kelana mendapat Topeng Kencana dan Pecut Samandiman. Sedangkan Joko Pujang mendapat Topeng Kesaktian dan Aji Landak Putih.
Selanjutnya, Panji Kelana memerintah kerajaan Bantar Angin dengan gelar Raden Panji Kelana Siswa Handana (sering diucapkan menjadi Raden Panji Kelono Sewandono). Kelana artinya suka berkelana, Siswa artinya murid, sedangkan Handana berarti pemberani. Yang akhirnya dijuluki Kelana Sewandana.
Joko Pujang sendiri akhirnya mengabdi kepada Raden Kelana Sewandana dan bergelar Joko Pujang Anung. Joko Pujang berarti masih muda, dan Anung artinya agul-agul (prajurit) kerajaan. Joko Pujang Anung (kerap disebut Pujang Ganong) akhirnya menjadi patih kerajaan Bantar Angin.
Dari cerita itulah kini di wilayah Seboto ds. Somoroto, ditemukan batu bata dengan ukuran yang besar-besar. Konon, disitulah pusat kerajaan Bantar Angin.
Lagu berjudul “Bumi Reyog” diatas memang secara gamblang dan jelas menyatakan bahwa babat tanah Ponorogo dimulai dari adanya kerajaan Bantar Angin. Namun, menelisik sejarah babat tanah Ponorogo dan mencari data-data faktualnya sama rumitnya dengan mengkaji sejarah kesenian khasnya yaitu Reyog. Pasalnya, sampai kini belum ditemukan data dan fakta sejarah yang membuktikan bahwa tempat itulah (petilasan di Somoroto, Red) yang menjadi awal mula terbentuknya daerah yang bernama Ponorogo. Pun dengan kapan kerajaan itu berdiri. Atau, kerajaan apa saja yang muncul setelah kerajaan Bantar Angin. Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang kesemua jawabannya masih dalam tanda tanya besar. “Sulit dicari data-data faktualnya. Penelitian secara arkeologis juga belum pernah diadakan ” papar Rido Kurnianto, dari Unmuh Ponorogo.
Sejarah babat Ponorogo akhirnya muncul dengan berbagai versi serta bermacam cerita. Namun, Rido pribadi meyakini kerajaan Bantar Angin benar-benar pernah ada. Meskipun akhirnya, cerita tentang kerajaan Bantar Angin sangat kental dengan bumbu sehingga sejarah itu lebih layak jika disebut sebagai legenda atau mitos. “Sebuah babat memang terkait erat dengan mitos/legenda,” katanya.
Namun, sejatinya mitos dan legenda yang dimunculkan dalam sejarah tidak seluruhnya membawa pengaruh buruk. “Legenda atau mitos berfungsi untuk melestarikan budaya dan menyebarkan semangat. Sehingga sejarah akan terus diingat oleh anak-cucu kita. Tidak seluruhnya jelek. Dan legenda itupun tidak hanya muncul di Ponorogo tetapi juga dibanyak kota yang lainnya,” tambah dosen Fakultas Tarbiyah ini.
Dari tangan pria ini, Ponorogo-Ponorogo akhirnya mendapat salinan cerita babat Ponorogo dan terjadinya Reyog Ponorogo milik Alm. Ki Kasni Guno Pati atau yang akrab dipanggil Mbah Wo Kucing. “Tiga bulan sebelum mbah Wo meninggal saya dikasih ini. Saya masih ingat betul pesan beliau. “Mas, ini nanti panjenengan yang meneruskan”,” kata Rido mengulangi kata-kata Alm. Mbah Wo.
Versi Alm. Mbah Wo Kucing, cerita babat Ponorogo dimulai dari tempat yang bernama Wengker (berasal dari kata Wana/Hutan dan Angker/Banyak dihuni makhluk halus). Kerajaan makhluk halus ini dipimpin oleh sepasang raja dan ratu bernama Darmawati dan Marmawati (dengan leluhurnya Prabu Boko). Kuatnya benteng pertahanan Wengker juga berkat adanya tiga Resi bersaudara yaitu; Raden Mas Jin Jami Jaya (Penguasa gunung Semeru), Raden Panji Nilosuwarno (Penguasa sumur Jolotundo, Blitar) dan Ki Gedug Padang Ati (Penguasa gunung Probolinggo).
Suatu ketika, ketiga Resi itu diperintahkan Raja Wengker untuk memperluas wilayah kekuasaan. Kesempatan ituh yang ditunggu-tunggu mereka karena sedari dulu mereka kurang senang dengan pemerintahan Darmawati dan Marmawati. Mereka pun meninggalkan Wengker hingga suatu saat sampailah mereka ditempat yang lapang dengan padang ilalang disekelilingnya. Ketiga pengembara ini kemudian menghentikan perjalanannya dan beristirahat. Tempat itu kemudian disebut Bantar Angin (Bantar/tempat yang sangat luas, Angin/udara yang berhembus). Disinilah mereka bertempat tinggal dan mendirikan padepokan.
Cerita diteruskan dengan munculnya seorang pengembara bernama Raden Panji Kelana (putra raja Kahuripan/Jenggala) di Bantar Angin. Panji Kelana kemudian berguru kepada ketiga Resi pemimpin padepokan itu. Singkat cerita, padepokan itu mengalami pergantian kekuasaan. Ketiga resi merasa sudah terlalu tua untuk memimpin BantarAngin hingga tampuk kekuasaannya diserahkan kepada Panji Kelana.
Pada suatu hari di sebuah tempat dikaki Gunung Lawu, Panji Kelana bertemu dengan Joko Pujang. Putra raja Kediri. Tabiat Joko Pujang yang tinggi hati memicu perkelahian antara keduanya. Adu kekuatan itu kemudian dimenangkan oleh Panji Kelana. Ketika Panji hendak membunuh Joko Pujang, muncullah seorang Brahmana (pertapa tua) penghuni Gunung Lawu yang melarang Panji Kelana. Dialah Kanjeng Sunan Lawu. Akhirnya kedua pemuda itu diangkat menjadi murid Sunan Lawu. Karena ketekunan kedua muridnya, Sunan Lawu memberikan aji kesaktian kepada mereka. Raden Panji Kelana mendapat Topeng Kencana dan Pecut Samandiman. Sedangkan Joko Pujang mendapat Topeng Kesaktian dan Aji Landak Putih.
Selanjutnya, Panji Kelana memerintah kerajaan Bantar Angin dengan gelar Raden Panji Kelana Siswa Handana (sering diucapkan menjadi Raden Panji Kelono Sewandono). Kelana artinya suka berkelana, Siswa artinya murid, sedangkan Handana berarti pemberani. Yang akhirnya dijuluki Kelana Sewandana.
Joko Pujang sendiri akhirnya mengabdi kepada Raden Kelana Sewandana dan bergelar Joko Pujang Anung. Joko Pujang berarti masih muda, dan Anung artinya agul-agul (prajurit) kerajaan. Joko Pujang Anung (kerap disebut Pujang Ganong) akhirnya menjadi patih kerajaan Bantar Angin.
Dari cerita itulah kini di wilayah Seboto ds. Somoroto, ditemukan batu bata dengan ukuran yang besar-besar. Konon, disitulah pusat kerajaan Bantar Angin.
ref:http://phisitponorogo.blogspot.com/2011/07/kerajaan-bantar-angin.html
0 komentar